Sekitar satu tahun yang lalu, aku dan kakakku Mba Lala, tukeran laptop karena ada sedikit masalah dengan OS laptop mba lala, jadi aku memutuskan untuk membawanya buat dibenerin di comlabs aja.
Satu tahun berlalu, hari demi hari aku lalui bersama laptop mba lala itu. Susah dan duka (susah dan duka ?) aku lalui bersama laptop toshiba hitam berkulit berudu. Ada kalanya seneng, ada kalanya juga engga. Ada kalanya dia responsif, tapi ada kalanya juga bebel ngambek engga nurut gerakan jari jemari yang bikin hati kesel.
Tapi lebih dari itu, tanpa terasa ikatan batin antara aku dan laptop yang engga bisa aktifin bluetooth itu terjalin begitu kuat. Aku seolah tahu dimana letak file movie hanya mengklik ini dan itu dengan mata terpejam bahkan sambil tidur dan mimpi lelap. Aku sudah terbiasa dengan tata letak, environment, dan workspace yang terbangun didalamnya. Dan yang paling penting, laptop tipe satelite itu telah membantuku dalam menyelesaikan berbagai badai tubes dan tucil, membantuku di saat-saat genting yang tidak terlupakan ketika semua dituntut serba cepat karena dikejar garis kematian. Dia rela tetap terjaga sampe mungkin satu minggu full. Dia rela tidak tidur semalaman menyanyikan lagu lullaby disampingku yang udah ngiler. Dia rela menceritakan cerita lucu, cerita horor, cerita sedih, dan cerita-demi cerita sampe tuntas meski tau aku udah engga dengerin lagi sibuk dengan mimpinya. Bahkan dialah satu-satunya sahabatku yang membantuku dalam mengerjakan tugas KP yang menguras banyak keringat, waktu, dan tenaga.
Ada awal pasti juga ada akhir. Akhirnya aku harus menyerahkan kembali laptop itu ke mba lala. Aku pikir aku akan bahagia, ataupun senang karena laptop lamaku kembali. Tapi justru sebaliknya. Aku seolah tidak tahu apa yang akan aku lakukan dengan laptopku yang sudah kembali ini. Aku seolah tidak rela untuk memulai ulang semuanya, yah, aku merasakan seolah-olah laptop ku ini asing bagiku. Aku tidak tahu dimana letak ini dan itu. Aku tidak tahu bagaimana ini dan itu. Aku harus berkenalan lagi dengannya meskipun technically ini adalah laptopku yang sesungguhnya. Aku harus mengajarinya dari awal (atau aku yang harus belajar darinya? /no) meskipun tidak ada apapun yang berubah dari laptop merah hati ku ini. Dia persis sama seperti ketika kami berpisah dulu. Tampilannya, tingkah lakunya, cara berfikirnya, dan yang lainnya. Tapi aku asing dengannya.
Aku harus menginstall ini dan itu lagi agar aku bisa merasakan pengalaman yang sama dengan si hitam kasar laptop mba lala.
Sedih rasanya harus berpisah (lagi) dengan sebuah laptop. Bukan karena dia lebih baik atau sebaliknya. Tapi lebih karena aku merasa harus memulai semua dari nol, seperti sebuah laptop yang baru dibeli, kau harus memberinya ini dan itu, kau harus mengajarinya ini dan itu lagi. Rasanya hampir sama seperti ketika aku lost everything saat engga sengaja gagal install OS tertentu yang jadinya harus install semuanya lagi, ilang datanya. Sedih kan? Iya sedih.
Selamat tinggal laptop toshiba mba lala, terima kasih telah menjadi salah satu bagian dari hidupku. /bye
Satu tahun berlalu, hari demi hari aku lalui bersama laptop mba lala itu. Susah dan duka (susah dan duka ?) aku lalui bersama laptop toshiba hitam berkulit berudu. Ada kalanya seneng, ada kalanya juga engga. Ada kalanya dia responsif, tapi ada kalanya juga bebel ngambek engga nurut gerakan jari jemari yang bikin hati kesel.
Tapi lebih dari itu, tanpa terasa ikatan batin antara aku dan laptop yang engga bisa aktifin bluetooth itu terjalin begitu kuat. Aku seolah tahu dimana letak file movie hanya mengklik ini dan itu dengan mata terpejam bahkan sambil tidur dan mimpi lelap. Aku sudah terbiasa dengan tata letak, environment, dan workspace yang terbangun didalamnya. Dan yang paling penting, laptop tipe satelite itu telah membantuku dalam menyelesaikan berbagai badai tubes dan tucil, membantuku di saat-saat genting yang tidak terlupakan ketika semua dituntut serba cepat karena dikejar garis kematian. Dia rela tetap terjaga sampe mungkin satu minggu full. Dia rela tidak tidur semalaman menyanyikan lagu lullaby disampingku yang udah ngiler. Dia rela menceritakan cerita lucu, cerita horor, cerita sedih, dan cerita-demi cerita sampe tuntas meski tau aku udah engga dengerin lagi sibuk dengan mimpinya. Bahkan dialah satu-satunya sahabatku yang membantuku dalam mengerjakan tugas KP yang menguras banyak keringat, waktu, dan tenaga.
Ada awal pasti juga ada akhir. Akhirnya aku harus menyerahkan kembali laptop itu ke mba lala. Aku pikir aku akan bahagia, ataupun senang karena laptop lamaku kembali. Tapi justru sebaliknya. Aku seolah tidak tahu apa yang akan aku lakukan dengan laptopku yang sudah kembali ini. Aku seolah tidak rela untuk memulai ulang semuanya, yah, aku merasakan seolah-olah laptop ku ini asing bagiku. Aku tidak tahu dimana letak ini dan itu. Aku tidak tahu bagaimana ini dan itu. Aku harus berkenalan lagi dengannya meskipun technically ini adalah laptopku yang sesungguhnya. Aku harus mengajarinya dari awal (atau aku yang harus belajar darinya? /no) meskipun tidak ada apapun yang berubah dari laptop merah hati ku ini. Dia persis sama seperti ketika kami berpisah dulu. Tampilannya, tingkah lakunya, cara berfikirnya, dan yang lainnya. Tapi aku asing dengannya.
Aku harus menginstall ini dan itu lagi agar aku bisa merasakan pengalaman yang sama dengan si hitam kasar laptop mba lala.
Sedih rasanya harus berpisah (lagi) dengan sebuah laptop. Bukan karena dia lebih baik atau sebaliknya. Tapi lebih karena aku merasa harus memulai semua dari nol, seperti sebuah laptop yang baru dibeli, kau harus memberinya ini dan itu, kau harus mengajarinya ini dan itu lagi. Rasanya hampir sama seperti ketika aku lost everything saat engga sengaja gagal install OS tertentu yang jadinya harus install semuanya lagi, ilang datanya. Sedih kan? Iya sedih.
Selamat tinggal laptop toshiba mba lala, terima kasih telah menjadi salah satu bagian dari hidupku. /bye
Dramatis, melankolis banget sub :'')
ReplyDeleteIya, makasih lang /wahaha
DeleteMelasi dell
ReplyDeleteHaha, men ngge rido.
Delete:)