Salah satu lagu, bukan favorit sih, tapi gue suka. Sedih soalnya. Tiba-tiba aja keputer sama playlist gue. Jadi pengin post. Haha.
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan.
Sayang engkau tak duduk di sampingku, Kawan.
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan.
ho ho ho ho
Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan.
Hati tergertar menampa kering rerumputan.
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi gembala kecil menangis sedih.
ho ho
Kawan coba dengar apa jawabnya ketika ia kutanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya
kepada karang, kepada ombak, kepada matahari.
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langit.
Barangkali di sana ada jawabnya: mengapa di tanahku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
ho ho ho ho
Kawan coba dengar apa jawabnya ketika ia kutanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya kepada karang, kepada ombak, kepada matahari.
Tetapi semua diam, tetapi semau bisu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langit.
Barang kali di sana ada jawabnya: mengapa di tanahku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
ho ho ho ho
Dengerin lagu ini jadi keinget sama lagunya Nashida Ria. Gue lupa judulnya, tapi masih terkait bencana alam. Mungkin juga lagu ini sekaligus sebagai jawaban pertanyaan Bang Ebiet: mengapa di tanahku terjadi bencana.
Gue cuma inget potongan liriknya kayak gini:
Bencana alam datang, semua orang bimbang...
...
Tanah longsor, banjir bandang, takkan terhindari, itulah terjadi.
Marilah, marilah, marilah, hey kaaawan.
...
Darilah itu jagalah lingkungan, bersihkan saluran, buanglah sampah pada tempatnya.
Patuhi nasihat ajaran agama.
Semoga selamat dari bencana.
...
Hutan-hutan digundulin, sungai-sungai ditimbunin.
Tanahnya pada longsor, tanggulnya jadi ambrool, brol.
...
Agak nyambung dengan lirik lagu dari Nasyida Ria di atas. Tentang buang sampah pada tempatnya.
Ini yang gue rasain bener-bener hal yang susah dilakuin setelah pindah ke Bandung dari kampung. Susah buang sampah. Kalo di kampung mah gampang. Tinggal buang di belakang rumah terus di bakar. Tapi di Bandung enggak bisa. Sampai-sampai sampah menimbun di depan kamar hingga berkarung-karung karena susah buangnya. Susah karena harus ke TPA yang agak jauh, jadi males. Karena males jadi numpuk-numpuk se trash-bag.
Tapi memang kalau diminta untuk buang sampah "Pada Tempatnya" di Bandung bisa dibilang, hmm, agak mustahil. Mungkin agak terlalu kejam. Tapi mau bagaimana lagi. Karena meskipun gue buang ke TPA, TPAnya saja letaknya tidak pada tempatnya. Masa TPA di samping gerbang ke SARAGA? Padahal gue rasa pas awal-awal gue di Bandung gerbang ke SARAGA belum ada tempat pembuangan sampah segede itu. Mengganggu pemandangan bagi orang yang mau olah raga.
Terus ada juga TPA yang di samping kebun binatang, di samping jalan mau ke ITB pula, tidak ada penutupnya pulaaa. Di samping penjual jajanan pulaaa.
Terus ada juga yang di samping SABUGA. Tapi yang ini ada pengolahannya jadi agak mendingan meskipun pengolahannya sebatas sampah yang dicincang-cincang.
Emang ngga ada yang bisa disalahin, ujung-ujungnya kan akibat kita juga sang penghasil sampah. Mau bagaimana lagi?
Memang di Bandung, dan juga di kota-kota besar lainnya mungkin, masalah yang besar memang banyaknya sampah dan sempitnya lahan, jadi asal ada lahan yang 'sedikit' longgar dijadikan tempat sampah.
Kadang gue suka geregetan kenapa tidak ada alat yang buat ngolah sampah kayak di luar-luar, yang gue suka liat kalo di film-film ada tempat buat ngolah sampah yang ada mesinnya guede banget. Mungkin ada yang ingat film Toy Story 3? Di situ ada tempat pembakaran sampahnya juga. Kenapa tidak bikin saja TPAnya kayak gitu jadi sampahnya ngga numpuk?
Meski ada juga TPA yang sudah ada alat pengolah sampahnya yang gue lihat: yaitu tadi yang di samping SABUGA. Tidak tahu TPA yang lainnya. Kemungkinan kebanyakan pada tidak ada alat buat ngolah sampahnya.
Terus yang bener-bener bikin sepet mata: tempat sampah-tempat sampah di depan ITB dan tempat sampah-tempat sampah umum lainnya yang ada di pinggir jalan itu banyaaaak yang pada terlantar, kacau balau, tidak ada gunanya! AAAA...
Pasalnya, masa tempat sampah cuma ada lingkaran penutupnya doang dan tidak ada kantung tempat sampahnya? Cuma lingkaran besi dua buah doang. Udah. Alhasil para penghasil sampah pun menyumbangkan sampahnya berserakan di bawahnya, di atas penutunya yang kadang bahkan tidak ada penutupnya: bolong melompong BLONG!
Dulu pas awal-awal tempat sampah menggunakan kantung plastik memang rutin di bawah lingkaran penutup ada kantung-kantung plastik sebagai penampung sampah. Tapi lama-kelamaan, yang ganti kantung cape kali ya, jadi tidak diganti. Koreksi, bukan tidak diganti, tapi tidak dikasih kantung tempat sampah.
Aduuh... Ck ck ck.. Bagaimana ya?
Ujung permasalahan ya paling bisa curhat sendiri dan kesel sendiri. Karena walau bagaimana pun gue juga penghasil sampah.
Gue positive tingking saja pemerintah pasti sudah bersusah payah menyelesaikan masalah sampah yang tidak (edit: belum) terselesaikan. Jadi yuk, kita berusaha untuk menekan penghasilan sampah kita (meskipun yang nulis belum tentu bisa, paling tidak kan mengajak kebaikan lebih baik daripada melakukan tindakan kriminal)...
Hehe
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan.
Sayang engkau tak duduk di sampingku, Kawan.
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan.
ho ho ho ho
Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan.
Hati tergertar menampa kering rerumputan.
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi gembala kecil menangis sedih.
ho ho
Kawan coba dengar apa jawabnya ketika ia kutanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya
kepada karang, kepada ombak, kepada matahari.
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langit.
Barangkali di sana ada jawabnya: mengapa di tanahku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
ho ho ho ho
Kawan coba dengar apa jawabnya ketika ia kutanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya kepada karang, kepada ombak, kepada matahari.
Tetapi semua diam, tetapi semau bisu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langit.
Barang kali di sana ada jawabnya: mengapa di tanahku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
ho ho ho ho
Dengerin lagu ini jadi keinget sama lagunya Nashida Ria. Gue lupa judulnya, tapi masih terkait bencana alam. Mungkin juga lagu ini sekaligus sebagai jawaban pertanyaan Bang Ebiet: mengapa di tanahku terjadi bencana.
Gue cuma inget potongan liriknya kayak gini:
Bencana alam datang, semua orang bimbang...
...
Tanah longsor, banjir bandang, takkan terhindari, itulah terjadi.
Marilah, marilah, marilah, hey kaaawan.
...
Darilah itu jagalah lingkungan, bersihkan saluran, buanglah sampah pada tempatnya.
Patuhi nasihat ajaran agama.
Semoga selamat dari bencana.
...
Hutan-hutan digundulin, sungai-sungai ditimbunin.
Tanahnya pada longsor, tanggulnya jadi ambrool, brol.
...
Agak nyambung dengan lirik lagu dari Nasyida Ria di atas. Tentang buang sampah pada tempatnya.
Ini yang gue rasain bener-bener hal yang susah dilakuin setelah pindah ke Bandung dari kampung. Susah buang sampah. Kalo di kampung mah gampang. Tinggal buang di belakang rumah terus di bakar. Tapi di Bandung enggak bisa. Sampai-sampai sampah menimbun di depan kamar hingga berkarung-karung karena susah buangnya. Susah karena harus ke TPA yang agak jauh, jadi males. Karena males jadi numpuk-numpuk se trash-bag.
Tapi memang kalau diminta untuk buang sampah "Pada Tempatnya" di Bandung bisa dibilang, hmm, agak mustahil. Mungkin agak terlalu kejam. Tapi mau bagaimana lagi. Karena meskipun gue buang ke TPA, TPAnya saja letaknya tidak pada tempatnya. Masa TPA di samping gerbang ke SARAGA? Padahal gue rasa pas awal-awal gue di Bandung gerbang ke SARAGA belum ada tempat pembuangan sampah segede itu. Mengganggu pemandangan bagi orang yang mau olah raga.
Terus ada juga TPA yang di samping kebun binatang, di samping jalan mau ke ITB pula, tidak ada penutupnya pulaaa. Di samping penjual jajanan pulaaa.
Terus ada juga yang di samping SABUGA. Tapi yang ini ada pengolahannya jadi agak mendingan meskipun pengolahannya sebatas sampah yang dicincang-cincang.
Emang ngga ada yang bisa disalahin, ujung-ujungnya kan akibat kita juga sang penghasil sampah. Mau bagaimana lagi?
Memang di Bandung, dan juga di kota-kota besar lainnya mungkin, masalah yang besar memang banyaknya sampah dan sempitnya lahan, jadi asal ada lahan yang 'sedikit' longgar dijadikan tempat sampah.
Kadang gue suka geregetan kenapa tidak ada alat yang buat ngolah sampah kayak di luar-luar, yang gue suka liat kalo di film-film ada tempat buat ngolah sampah yang ada mesinnya guede banget. Mungkin ada yang ingat film Toy Story 3? Di situ ada tempat pembakaran sampahnya juga. Kenapa tidak bikin saja TPAnya kayak gitu jadi sampahnya ngga numpuk?
Meski ada juga TPA yang sudah ada alat pengolah sampahnya yang gue lihat: yaitu tadi yang di samping SABUGA. Tidak tahu TPA yang lainnya. Kemungkinan kebanyakan pada tidak ada alat buat ngolah sampahnya.
Terus yang bener-bener bikin sepet mata: tempat sampah-tempat sampah di depan ITB dan tempat sampah-tempat sampah umum lainnya yang ada di pinggir jalan itu banyaaaak yang pada terlantar, kacau balau, tidak ada gunanya! AAAA...
Pasalnya, masa tempat sampah cuma ada lingkaran penutupnya doang dan tidak ada kantung tempat sampahnya? Cuma lingkaran besi dua buah doang. Udah. Alhasil para penghasil sampah pun menyumbangkan sampahnya berserakan di bawahnya, di atas penutunya yang kadang bahkan tidak ada penutupnya: bolong melompong BLONG!
Dulu pas awal-awal tempat sampah menggunakan kantung plastik memang rutin di bawah lingkaran penutup ada kantung-kantung plastik sebagai penampung sampah. Tapi lama-kelamaan, yang ganti kantung cape kali ya, jadi tidak diganti. Koreksi, bukan tidak diganti, tapi tidak dikasih kantung tempat sampah.
Aduuh... Ck ck ck.. Bagaimana ya?
Ujung permasalahan ya paling bisa curhat sendiri dan kesel sendiri. Karena walau bagaimana pun gue juga penghasil sampah.
Gue positive tingking saja pemerintah pasti sudah bersusah payah menyelesaikan masalah sampah yang tidak (edit: belum) terselesaikan. Jadi yuk, kita berusaha untuk menekan penghasilan sampah kita (meskipun yang nulis belum tentu bisa, paling tidak kan mengajak kebaikan lebih baik daripada melakukan tindakan kriminal)...
Hehe
Comments
Post a Comment